Standar Ganda Kebijakan AS Terhadap Irak dan Korea Utara Atas Upaya Pengembangan Senjata Nuklir

  • Donna Juliarti Simanjuntak

Abstract

Tudingan sebagai “Axis of Evil†(Poros Kejahatan) oleh Amerika Serikat (AS) terhadap Irak dan Korea Utara (Korut), terkait dengan upaya memiliki senjata pemusnah masal, dan dugaan AS atas dukungan mereka terhadap teroris internasional, ternyata tidak menyurutkan keinginan kedua negara tersebut untuk tetap melanjutkan program pengembangan senjata nuklir mereka. Sebelumnya, Irak menyatakan bersedia menerima pelucutan senjata pemusnah masalnya sesuai dengan Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) No. 687 (April 1991) mengenai pencabutan sanksi sekaitan penghancuran senjata pemusnah masal (Koran Tempo, 23-8-2002). Begitupun dengan Korut, yang pada 1994 mengadakan kesepakatan khusus dengan AS, yang intinya menyatakan kesediaannya menghentikan program persenjataan nuklirnya. Sebagai kompensasinya, AS akan membantu dana dan teknis pengembangan listrik bertenaga air (reaktor air ringan) di negara itu (Kompas, 11-3-1995).

Namun, beberapa waktu lalu (2003), Irak dan Korut menghidupkan kembali pengembangan senjata nuklir mereka yang dianggap berbahaya dan mengancam perdamaian dan keamanan dunia. Semula, mereka menyangkal hal yang awalnya merupakan kecurigaan AS itu, sampai akhirnya Korut mengakui kebenaran isu tersebut. Sementara mengenai nuklir Irak, sampai saat ini belum terbukti kebenarannya, meskipun Tim Inspeksi Senjata PBB sudah didatangkan ke negeri itu atas persetujuan Saddam Husein, dan masih terus menyelidiki sampai batas waktu yang ditentukan.

Sama seperti sebelumnya, AS tidak tinggal diam dalam menghadapi masalah senjata nuklir di Irak dan Korut. Hanya saja kali ini AS menerapkan standar ganda dalam kebijakan luar negerinya itu. Terhadap Irak, AS mengancam akan melakukan agresi militer jika Irak tidak segera mengakhiri program senjata pemusnah masalnya. Bahkan, yang mengherankan, meskipun nanti Tim Inspekksi PBB telah selesai menjalankan tugas pemeriksaannya di Irak dan ternyata tak terbukti bahwa Irak memang sedang mengembangkan program senjata nuklirnya, AS menyatakan akan tetap menyerang Irak. Sementara terhadap Korut, sikap AS ternyata lebih lunak. AS menginginkan penyelesaian damai melalui jalur diplomasi dan tidak akan menyerang negeri komunis itu. Kalaupun Korut membangkang, AS hanya akan mengancam dengan memberikan tekanan atau sanksi ekonomi.

Paradoks, memang, perbedaan sikap AS itu. Senjata nuklir Irak yang masih merupakan dugaan, oleh AS direspon dengan agresi militer. Sementara Korut yang jelas-jelas telah mengakui program nuklirnya, mendapat sikap yang lebih halus. Yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa AS menerapkan standar ganda dalam menghadapi ancaman nuklir Irak dan Korut itu?

Mantan Penasihat Keamanan Nasional AS, Zbigniew Brzezinski, kepada stasiun televise CNN menyatakan bahwa ancaman nuklir Korut jauh lebih besar dibanding ancaman nuklir Irak. Dalam hal kemampuan militer pun, Korut jauh lebih mengancam dibanding Irak. Negeri komunis itu memiliki tentara yang jumlahnya mencapai satu juta personil dan ratusan rudal, termasuk sejumlah rudal yang bisa menghantam wilayah Jepang. Mantan Menteri Luar Negeri AS, Henry Kissinger, juga mengungkapkan hal yang senada. Untuk itu, pemerintah AS harus menanggapi ancaman Korut dengan tingkat keseriusan yang sama, atau bahkan lebih serius dibanding sikap pemerintah AS dalam menghadapi masalah Irak. Tetapi, mengapa sikap AS terhadap Korut malah lebih lunak ketimbang terhadap Irak? Adakah motif atau kepentingan tertentu di balik itu, di samping tujuan lain AS untuk mengakhiri program nuklir demi terciptanya tatanan internasional yang lebih baik, aman, dan damai?

Perkembangan teraktual, Irak akhirnya digempur oleh pasukan militer AS-Inggris, meski secara faktual tak pernah ditemukan tempat pengembangan senjata nuklir atau senjata pemusnah massal itu. Setelah dinyatakan kalah perang (yang tak disetujui oleh PBB), pemerintah Irak utnuk sementara kini diambil-alih oleh AS. Hal itu, seperti diketahui, memang sudah terjadi. Hanya, saja, Presiden George W. Bush memberi alasan bahwa AS memerangi Irak dengan tujuan membangun negara itu menjadi negara yang demokratis dan berkeadilan.

Published
2019-06-21