Sindrom Hipersensitivitas Dapson pada Penderita Kusta di Kota Jayapura Papua Indonesia Tahun 2017-2019

  • Timothy V.P. Reba DepartemenMikrobiologi Fakultas KedokteranUniversitas Kristen Indonesia Jakarta
  • Evy S. Arodes DepartemenMikrobiologi Fakultas KedokteranUniversitas Kristen Indonesia Jakarta
  • Inneke V. Sumolang Departemen Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Cenderawasih/ RSUD Abepura Jayapura
  • Dame J. Pohan Departemen Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia Jakarta

Abstract

Abstrak
Pengendalian kusta saat ini berdasarkan pada deteksi dini kasus dan pengobatan dengan menggunakan rejimen
multi drug therapy (MDT), salah satu komponen terapinya adalah dapson, sebagai antibiotika dan anti-inflamasi.
Dapsone hypersensitivity syndrome (DHS) merupakan salah satu efek samping dapson. Tujuan penelitian ini untuk
melihat profil DHS pada orang asli Papua penderita kusta di Puskesmas kota Jayapura. Terdapat 36 penderita DHS
34 (94,4%), yang asli orang Papua dan 2 (5,6%) penderita non Papua. Kelompok umur terbanyak pada usia 17-60
tahun berjumlah 26 (76,5%) penderita. Jenis kelamin terbanyak adalah perempuan sebanyak 18 (53%) penderita.
Jenis kusta terbanyak adalah multibasiler (MB) sebanyak 31 (91,2%) penderita. Lama pemberian MDT sampai
timbulnya gejala klinis DHS terbanyak adalah pada minggu ke-4 sebanyak 23 (67,6%) penderita. Gejala klinis
yang paling sering muncul adalah demam, kulit mengelupas, sklera ikterik dan anemia yang didapatkan pada 31
(91,2%) penderita. Pemberian steroid sebagai pilihan terapi yang diberikan selama 36-40 hari diberikan pada 18
(53%) penderita, sedangkan terapi kurang 30 hari diberikan pada tiga (8,8%) penderita yang meninggal dunia.
Kesimpulannya, DHS pada penelitian ini yang dilakukan di kota Jayapura ditemukan lebih banyak DHS pada orang
Papua dibandingkan dengan non Papua. Gejala klinis terbanyak timbul pada minggu ke-4. Terapi yang diberikan
adalah steroid dengan tapering off dengan waktu rata-rata sampai 40 hari.
Kata Kunci: multibasiler, steroid, terapi

Abstract
The control of leprosy is currently based on early detection of cases and treatment using the Multi Drug Therapy
(MDT) regimen, one of the therapeutic components is dapsone, as an antibiotic and anti-inflammatory. Dapsone
Hypersensitivity Syndrome (DHS) is a side effect of dapsone. The purpose of this study was to see the DHS profile
of Papuans affected by leprosy at the Jayapura City Health Center. There were 36 DHS sufferers 34 (94.4%) of them
were Papuans and 2 (5.6%) were non-Papuans. Most age groups aged 17-60 years were 26 (76.5%) sufferers. Most
of the sexes were women as many as 18 (53%) sufferers. Most types of leprosy are multibacillary (MB) as many
as 31 (91.2%) patients. The duration of MDT administration and the appearance of the most clinical symptoms of
DHS at week 4 were 23 (67.6%) patients. The clinical symptoms that appeared most often were fever, peeling skin,
scleral icterus and anemia were found in 31 (91.2%) patients. Steroid administration as a therapeutic option was
mostly found for 36-40 days in 18 (53%) patients, while therapy for less than 30 days found 3 (8.8%) patients died.
In conclusion, the DHS among Papuans in Jayapura city is higher than that of non-Papuans. Most clinical symptoms
occur at week 4. The therapy given was steroids with tapering off with an average time of up to 40 days.
Keywords: multibasiler, steroid, therapy

Published
2023-05-03
How to Cite
Reba, T. V., Arodes, E. S., Sumolang, I. V., & Pohan, D. J. (2023). Sindrom Hipersensitivitas Dapson pada Penderita Kusta di Kota Jayapura Papua Indonesia Tahun 2017-2019. Majalah Kedokteran UKI, 37(2), 42-48. https://doi.org/10.33541/mk.v37i2.4822