KONSEP DOXA DALAM BUDAYA BALI DAN MAKASSAR: KOMPARASI TEKS GEGURITAN JAYAPRANA DAN SINRILIK I DATUK MUSENG
Abstract
Abstrak
Tulisan ini mengungkapkan konsep doxa yang terdapat di dalam teks Geguritan Jayaprana dan Sinrilik I Datu Museng. Keduanya adalah teks yang berkisah tentang lingkungan istana yang memiliki legitimasi membangun konstruksi budaya. Geguritan yang berbentuk puisi dibacakan dengan cara ditembangkan, begitu pula dengan Sinrilik yang disampaikan melalui nyanyian atau deklamasi dengan iringan musik tradisional. Keduanya berasal dari dua budaya berbeda, yaitu Bali dan Makassar. Namun, kedua karya sastra ini menggambarkan konsep doxa yang dianggap sebagai sebuah kebenaran tanpa perlu diperdebatkan. Terdapat perbedaan wacana dalam konsep doxa keduanya. Dalam Geguritan Jayaprana, konsep doxa yang dipakai adalah wacana orthodoxy atas tunduknya Jayaprana terhadap titah raja dan pati wrata (bunuh diri) yang dilakukan oleh Ni Layonsari sebagai bentuk kesetiaan istri kepada suaminya. Berbeda halnya dengan kisah dalam Sinrilik I Datu Museng, konsep doxa yang terlihat adalah wacana heterodoxy dengan berusaha melawan nilai-nilai yang berlaku yang diberikan oleh kelompok dominan (penjajah). Budaya siri’ untuk membela harga diri adalah hal yang wajib dilakukan dalam tradisi Bugis dan Makassar, seperti halnya semangat puputan yang terjadi di Bali.
Kata Kunci: Doxa, Geguritan, Sinrilik, Bali, Makassar.
Abstract
This article elaborates on the concept of doxa as portrayed in the texts Geguritan Jayaprana and Sinrilik I Datu Museng, originating from revered royal settings and carrying significant cultural weight. Geguritan is presented in poetic form, and recited through singing, while Sinrilik is conveyed through singing or declamation with traditional musical accompaniment. Despite their distinct cultural origins in Bali and Makassar, both texts exemplify doxa as an accepted truth that transcends debate. It is important to note the disparities in the discourse surrounding the concept of doxa within both texts. In Geguritan Jayaprana, the concept of doxa highlights the discourse of orthodoxy, emphasizing Jayaprana's adherence to the king's command and Ni Layonsari's pati wrata (suicide) as an expression of spousal loyalty. Conversely, in Sinrilik I Datu Museng, the concept of doxa is rooted in the discourse of heterodoxy, depicting resistance against the prevailing values of the dominant colonizers. The cultural practice of siri', aimed at defending one's honor, is an obligatory facet of Bugis and Makassar traditions, akin to the puputan spirit in Bali.
Keywords: Doksa, Geguritan, Sinrilik, Bali, Makassar,
This article elaborates on the concept of doxa as portrayed in the texts Geguritan Jayaprana and Sinrilik I Datu Museng, originating from revered royal settings and carrying significant cultural weight. Geguritan is presented in poetic form, and recited through singing, while Sinrilik is conveyed through singing or declamation with traditional musical accompaniment. Despite their distinct cultural origins in Bali and Makassar, both texts exemplify doxa as an accepted truth that transcends debate. The concept of doxa is investigated within the framework of genetic structuralism theory, also known as Pierre Felix Bourdieu's constructivist structuralism. It is important to note the disparities in the discourse surrounding the concept of doxa within both texts. In Geguritan Jayaprana, the concept of doxa highlights the discourse of orthodoxy, emphasizing Jayaprana's adherence to the king's command and Ni Layonsari's pati wrata (suicide) as an expression of spousal loyalty. Conversely, in Sinrilik I Datu Museng, the concept of doxa is rooted in the discourse of heterodoxy, depicting resistance against the prevailing values of the dominant colonizers. The cultural practice of siri', aimed at defending one's honor, is an obligatory facet of Bugis and Makassar traditions, akin to the puputan spirit in Bali.
Keywords: Doksa, Geguritan, Sinrilik, Bali, Makassar,
References
Abdullah, Hamid. (1985). Manusia Bugis Makassar: Suatu Tinjauan Historis Terhadap Pola Tingkah Laku dan Pandangan Hidup Manusia Bugis Makassar. Jakarta: Inti Idayu Press).
Arief, Aburaerah dan Hakim, Zainuddin. (1993). Sinrilikna Kappalak Tallumbatua. Jakarta: Yayasan Obor.
Bahrum, Shaifuddin dan Lewa, Indriati. (1996). ‘Datu Museng dan Maipa Deapati’ dalam Nurhayati Rahman dan Sri Sukesi Adiwinata (Penyunting). Antologi Sastra Daerah Nusantara. Jakarta: Masyarakat Pernaskahan Nusantara-Yayasan Obor Indonesia.
Basang, Djirong dan Salmah, Djirong. (1997). Taman Sastra Makassar. Ujung Pandang: CV Surya Agung.
Baso, Verdy R. (1988). “Datumuseng dan Maipa Deapati.” Dalam Surat Kabar Harian Pedoman Rakyat (Juli—Agustus). Ujung Pandang: Balai Penelitian Bahasa.
Bilhaq, Aulia Mardhatilah. (2023). ‘Heterodoxa dalam Gerakan Perlawanan Perempuan Indonesia pada Film Kartini’ dalam Jurnal Lensa Mutiara Komunikasi 7(2): 124—135. DOI: http://u.lipi.go.id/1487661056
Bourdieu, Pierre. (1984). Distinction: A Social Critique of The Judgement of Taste. Cambridge: Harvard University Press.
___ . (1995). Outline of A Theory of Practice. Cambridge: Cambridge University Press.
___. (1996). The Rule of Art, Genesis and Structure of the Literary Field. Susan Emanuel (Penerjemah). Cambridge: Polity Press.
Creese, Helen. (2004). Women of the Kakawin World. Mariage and Sexuality in the Indic Courts of Java and Bali. New York dan London: M.E. Sharpe.
_______. (2012). Perempuan dalam Dunia Kakawin, Pernikahan dan Seksualitas di Istana Indic Jawa dan Bali. Bali: Pustaka Larasan.
Creese, Helen, Darma Putra, Henk Schulte Nordholt (eds). (2006). Seabad Puputan Badung: Perspektif Belanda dan Bali. Denpasar. Fakultas Sastra Universitas Udayana: Pustaka Larasan-KITLV Jakarta.
Dyah Putranti, Basilica. (2007). ‘Kekerasan Simbolik Suami Terhadap Istri dalam Perspektif Budaya Jawa, Studi di Kampung Urban Yogyakarta’ dalam Jurnal Kependudukan Indonesia, ll (2): hal 65—74.
Deer, Cecile. (2008). ‘Doxa’ dalam Pierre Bourdieu, Key Concepts. United Kingdom: Acumen. hal. 119—130.
Lewa, Inriati. (1996). ‘Sinrilik Datumuseng: Tradisi, Teks, dan Pewarisannya’. Tesis. Yogyakarta: UGM.
Ginarsa, Ketut. (1978). Geguritan Jayaprana: Alih Aksara, Alih Bahasa, dan Ilustrasi. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah.
Maton, Karl. (2008). ‘Habitus’ dalam Pierre Bourdieu, Key Concepts. United Kingdom: Acumen. hal. 49—66.
Nastiti, Titi Surti. (2009). ‘Kedudukan dan Peranan Perempuan dalam Masyarakat Jawa Kuna (Abad VIII-XV Masehi)’. Disertasi. Depok: Universitas Indonesia.
Nojeng, Asis, dkk. (2024). ‘Hegemoni Kekuasaan dalam Naskah Sinrilik I Maddi Daeng Rimakka: Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough’ dalam Nuances of Indonesian Languages 5(1): 78—83.
Parawansa, P. et all. (1992). Sastra Sinrilik Makassar. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan kebudayaan.
Rahim, A. Rahman. (2011). Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis. Makassar: Hasanuddin University Press.
Ramadhani, Marwiah, dan Muliana. (2022). ‘Nilai Moral yang Terkandung dalam Sinrilik Bosi Timurung Pada Masyarakat Gowa Melalui Pendekatan Sosiologi Sastra’ dalam Jurnal Aksara Sawerigading 1(1): 10—21.
Tantular, Mpu. (2019). Kakawin Sutasoma. Mastuti, Dwi Woro & Bramantyo, Hastho (Penerjemah). Jakarta: Komunitas Bambu.
Zurmailis &Faruk. (2017). ‘Doksa, Kekerasan Simbolik, dan Habitus yang Ditumpangi dalam Konstruksi Kebudayaan di Dewan Kesenian Jakarta’ dalam Adabiyah: Jurnal Bahasa dan Sasta 1(1): 44—72.